PERKEMBANGAN NILAI MORAL DAN SIKAP PADA MASA REMAJA
A. Pendahuluan
Akhir-akhir
ini, remaja menjadi fenomenal untuk dikaji dan diteliti oleh banyak
kalangan khususnya dalam persoalan moral dan prilakunya, ada perbedaan
moral dan sikap yang dimiliki oleh remaja pada masa sekarang dengan
remaja pada masa dahulu, inilah yang menjadikan alasan kenapa remaja
menjadi obyek yang fenomenal untuk diteliti dan dikaji. Remaja pada masa
dahulu lebih mengedepankan moral dan sikapnya dibandingkan dengan ego
(nafsu), sehingga muncul dalam pola tindaknya kesopanan dalam bergaul,
menghormati orang yang lebih tua, memiliki tutur kata yang lembut dan
lain sebagainnya. Tetapi sebaliknya, remaja pada masa sekarang lebih
mengedepankan egonya dari pada nilai moral dan sikap, sehingga yang
muncul adalah sikap mau menang sendiri, tidak mau disalahkan meskipun
dalam keadaan yang bersalah dan tidak mau menghormati orang lain.
Terjadinya
perbedaan pola sikap dan pola tindak remaja masa sekarang dengan remaja
masa dahulu tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Ronald Robertson,
mengatakan dalam Globalization, Social Theory and Global Culture,
bahwa globalisasi merupakan karakteristik hubungan antara penduduku
bumi ini yang melampau batas-batas konvensional, seperti bangsa dan
negara. Dalam proses tersebut negara telah dimamfaatkan dan terjadi
intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai kesatua utuh.[1]
Dengan ini tidak ada lagi pembatas yang bisa dijadikan batas oleh suatu
negara dengan begitu maka akan terjadi akulturasi (pencampuran
kebudayaan) antara budaya Barat dengan budaya Indonesia yang memiliki
perbedaan secara fundamintal. Barat lebih kepada paham liberalisme
(kebebasan), mereka menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan
dalam mengekspresikan hidup, sedangkan Indonesia lebih berpegangteguh
kepada nilai-nilai atau norma-norma agama, yang diyakini sebagai
pengangan hidup. Fatalnya adalah remaja-remaja kita pada masa sekarang
tidak dapat memfilter (menyaring) budaya-budaya Barat yang dapat merusak
kehidupannya, semua budaya Barat kita adopsi sebagai suatu nilai atau
norma dalam menjalankan kehidupan.
Sealain itu, Globalisasi biasanya ditandai oleh tiga hal, pertama, perkembangan informasi dan telekomunikasi; kedua, perkembangan teknbologi; ketiga,
liberalisasi. Perkembangan telekomonikasi dan informasi yang seharusnya
mempermudah kita untuk dapat menjangkau dunia lebih dekat dan dengan
cepat meperoleh informasi, malah menjadi bumerang bagi remaja kita,
mereka lebih mendapatkan informasi-informasi yang negatif yang dapat
merusak kehidupannya. Perkembangan teknolog yang katanya dapat
mempermudah kita malah menjadi megia imitasi (peniruan) dan edukasi
(pendidikan) yang tidak baik.
Menjadi
tugas kita semua untuk memperbaiki pola sikap dan pola tindak remaja
kita, maka kajian tentang “perkembangan nilai moral dan sikap pada masa
remaja” menjadi hal yang sangat penting, sebagai langkah awal untuk
menciptakan suatu perubahan pada remaja, dengan cara memberi wawasan
tentang perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja. Dengan
begitu yang akan kita kaji adalah, Bagaimana perkembangan nilai moral
dan sikap pada masa remaja? Dan bagaimana remaja dapat melaksanakan
tahapan-tahapan perkembangan nilai moral dan sikap tersebut?
B. Pembahasan
Sebelum
membahas tentang perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja,
ada dua istilah yang sangat penting untuk kita ketahui, pertama,
“pertumbuhan dan kedua “perkembangan”. Ada beberapa pendapat yang
berbeda untuk memberi arti dua istilah tersebut, Maka hal ini perlu kita
bahas untuk menghindari penafsiran yang berbeda tentang kedua istilah
tersebut.
Prof. Dr. Sunarto, dalam bukunya Perkembangan Peserta Didik,
membedakan kedua istilah tersebut, beliau mengatakan bahwa pertumbuhan
selalu berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut
peningkatan ukuran dan struktur biologis. Maka beliu menjelaskan bahwa
pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses
pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak
yang sehat, dalam perjalanan waktu tertentu.[2]
Sedangkan mengenai perkembangan Prof. Dr. Sunarto mengutip pendapatnya
Bijou dan Baer (1961) yang mengemukakan bahwa perkembangan adalah
perubahan progresif yang menunjukkan cara organisme bertingkah laku dan
berintraksi dengan lingkungan. Interaksi yang dimaksud di sini adalah
apakah suatu jawaban tingkah laku akan diperlihatkan atau tidak,
tergantung dari perangsang-perangsang yang ada dilingkugannya.[3]
Jadi pertumbuhan adalah peningkatan fisik dalam keadaan tertentu,
sedangkan perkembangan lebih kepada pola sikap dan pola tindak.
Tetapi
dalam makalah ini kami tidak akan membedakan antara pertumbuhan dan
pengembangan, tetapi kami akan menggabungkan kedua istilah tersebut baik
pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja. Pertumbuhan
secarafisik dan perkembangan secara sikap dan prilaku pada masa remaja
akan kami satukan dalam makalah ini.
Perkembangan Nilai Moral dan Sikap
Menurut
Danel Susanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja
biasanya ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan, seperti dibawah
ini:[4]
1. Perubahan fisik
Pada
masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan
seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada masa
ini telah mulai matang dan berfungsi. Disamping itu tanda-tanda
seksualitas sekunder juga mulai nampak pada diri remaja.
2. Perubahan intelek
Menurut
perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja
telah beralih dari masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional.
Pada masa konkrit-operasional, seseorang mampu berpikir sistematis
terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada
masa formal operasional ia sudah mampu berpikir se-cara sistematis
terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada masa remaja,
seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
3. Perubahan emosi
Pada
umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil.
Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall,
perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada
kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah
selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock
menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi
pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh
hormonal.
4. Perubahan sosial
Pada
masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap
bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik
yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja
juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku seperti orang dewasa.
Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam
‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan tempat
yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga
sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y.
Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat
positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk
melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan
sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar
mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi
“overacting’ dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat
merusak.
5. Perubahan moral
Pada
masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar
menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep
moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada
masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai
nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun
demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah
laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak
terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak terlalu merugikan
masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.
Khusus
mengenai perubahan nilai moral dan sikap pada masa remaja ada tiga
tahap, hal ini dari hasil penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh
Kohlberg, yang disebut dengan teori perkembangan kognitif, sebagai
berikut:[5]
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
- Orientasi kepatuhan dan hukuman
- Orientasi minat pribadi
Tingkat 2 (Konvensional)
- Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
- Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
- Orientasi kontrak sosial
- Prinsip etika universal
( Principled conscience)
Pra-Konvensional
Tingkat
pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak,
walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini.
Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas
dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat
pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral,
dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama,
individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari
tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan
dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum.
Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.
Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda
dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya,
perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya.
Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang
lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk
juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak
didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan
perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda
dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk
melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua,
perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara
moral.
Konvensional
Tingkat
konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang
di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat
konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan
moral.
Dalam tahap tiga,
seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau
menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena
hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan
hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu
tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan
interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa
terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan
dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.
Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam
penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik…’.
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat
harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa
yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme.
Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan
begitu – sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan
aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara
moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini
karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan
pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri
dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa
individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini
menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum
perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini
membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku
pra-konvensional.
Dalam tahap lima,
individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan
nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan
dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif
seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut – ‘memang
anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan dengan itu,
hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan,
dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak
mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial
dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant).
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan
seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang
dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena
hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan,
legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa
tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada,
yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
Melakukan Tahapan-tahapan Dengan Baik
Setelah
kita mengetahui dari uraian di atas tentang tahapan-tahapan perkembangan
nilai moral dan sikap, maka sangatlah penting pendidikan moral untuk
suksesnya remaja melakukan tahapan-tahapan nilai moral tersebut.
Pendidikan tersebut dapat dilakukan di rumah tangga, sekolah, dan
masyarakat.[6]
1. Pendidikan moral dalam rumah tangga
- pertama-tama yang harus diperhatikan adalah penyelamatan hubungan ibu-bapak, sehingga pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya.
- Pendidikan moral yang paling baik, terdapat dalam agama, karena nilai moral yang dapat dipatuhi dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari luar, hanya dari kesadaran sendiri, datangya dari keyakinan sendiri.
- Orang tua harus memperhatikan pendidikan moral serta tingkah laku anak-anaknya.
- Pendidikan dan perlakuan orang tua terhadap anaknya hendaknya menjamin segala kebutuhannya, baik fisik ataupun psikis ataupun sosial.
2. Pendidikan moral dalam sekolah
- Hendaknya dapat diusahakan supaya sekolah menjadi lapangan yang baik bagi penumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak didik.
- Pendidikan agama, haruslah dilakukan secara intensif
- Hendaknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran (baik guru, pegawai , buku, peraturan dan alat-alat) dapat membawa anak didik kepada pembinaan mental yang sehat.
3. Pendidikan moral dalam masyarakat
- sebelum menghadapai pendidikan anak, maka masyarakat yang telah rusak moralnya diperbaiki terlebih dahulu.
- Mengusahakan supayamasyarakat, termasuk pemimpin dan penguasanya menyadari betapa pentingnya masalah pendidikan moral anak.
- Supaya segala mas media , terutama siaan radio dan TV., memperhatikan setiap macam uraian, petunjukan, kesenian dan ungkapa tidak boleh bertentangan dengan agama.
C. Penutup
Kesimpulan
Masa
remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.
Masa ini biasanya dimulai pada saat seseorang mencapai kamatangan
seksual dan diakhiri pada saat ia mencapai kedewasaan.
Lamanya
masa peralihan ini ditentukan berbeda-beda oleh para ahli, tergantung
dari sudut pandang mereka masing-masing. Sebagai contoh, Y. Singgih D.
Gunarsa & Singgih D. Gunarsa membatasi masa remaja pada usia: 12-22
tahun. Menurut mereka, masa remaja yang cukup panjang ini masih dapat
dibagi lagi dalam 3 tahap, yaitu: (1) masa persiapan fisik, antara umur
11-15 tahun, (2) masa persiapan diri, antara umur 15-18 tahun, dan (3)
masa persiapan dewasa, antara umur 18-21 tahun.
Pada
masa persiapan fisik, yang paling menyolok pada diri remaja adalah
perubahan fisik yang sedang dialaminya. Pada saat remaja memasuki masa
persiapan diri, pada umumnya kematangan tubuh dan kedewasaan seksual
sudah tercapai. Pada masa ini ia sedang menyiapkan diri menuju
pembentukan pribadi yang dewasa. Pada masa persiapan dewasa, remaja
diharapkan sudah mencapai status kedewasaan dalam lingkungan keluarga.
Pada masa ini ia harus menyiapkan masa depan, peran dan penempatan
dirinya dalam masyarakat.
Adapun tahapan tahapan perkembangan nilai moral dan sikap untuk menciptakan kedewasaan pada diri remaja sebagai berikut:
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
Tingkat 2 (Konvensional)
1. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
2. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
1. Orientasi kontrak sosial
2. Prinsip etika universal
( Principled conscience)
Sedangkan
untuk mencapai tahapan-tahapan perkembangan nilai moral dan sikap di
atas membeutuhkan pendidikan moral, sebagai berikut
- pendidikan moral di rumah
- pendidikan moral di sekolah
- pendidikan moral di masyarakat
Saran
Adapun
saran yang dapat kami sampaikan, setelah kami mengkasi tentang
perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja adalah:
- orang tua di dalam rumah harus bertanggung jawab untuk mendidika moral anaknya
- guru di sekolah juga bertanggungjawab untuk mendidik moral anak didiknya, tidak hanya sekedar pintar dalam keilmuan tetapi harius pentar dalam bertindak dan bersikap (berakhlak).
- masyarakat harus ikut serta mencegah anak yang amoral dan mendukung anak yang bermora
0 komentar:
Posting Komentar